Segala hal yang berkaitan dengan kajian keislaman, mau tidak mau, selalu menyangkut dengan studi sejarah (histori). Oleh sebab itu, k...
Segala hal yang berkaitan dengan kajian keislaman, mau tidak mau, selalu menyangkut dengan studi sejarah (histori). Oleh sebab itu, ketika kita ingin menggali narasi, proses, asbab nuzul dari suatu peristiwa, pahami sejarahnya.
Lalu, bagaimana caranya jika kita ingin melakukan penulisan sejarah?
Yang pertama, perlu memahami prinsip dari watak kesejarahan manusia bahwa eksistensi manusia dijalankan dalam waktu. Artinya, manusia menurut kodratnya terikat oleh struktur waktu/temporal (Bertens: 2005).
Berdyaev, salah seorang filsuf sejarah, mengatakan bahwa manusia dalam kehidupannya selalu menghayati tiga dimensi waktu. Pertama, waktu kosmis, yaitu waktu yang dapat dihitung secara matematis dalam bentuk siang, malam, detik, menit, dst, dan bersifat keberulangan karena tergantung pada proses kosmologis. Kedua, waktu kesejarahan, yaitu waktu yang merentang antara masa lampau, sekarang, dan nanti. Waktu ini selalu mengandaikan adanya perubahan menuju kepada pembaruan. Waktu ini juga dapat dihitung secara matematis, namun peristiwa yang terjadi di dalamnya tidak dapat terulang kembali. Ketiga, waktu eksistensial, yaitu waktu yang tidak terpengaruh oleh ukuran matematis. Waktu ini ditentukan oleh bentuk penghayatan yang dilakukan manusia dalam kehidupannya atas penderitaan atau kebahagiaan. Dan, dalam konteks kesejarahan, manusia dapat memahaminya hanya dalam penghayatan atas waktu eksistensial ini (Misnal Munir: 2012).
Yang kedua, sejarah lebih mengedepankan tentang peristiwa dan sumber-sumbernya, serta tentang komposisi dan penyampaian makna. Mengacuhkan kontruksi bahasa sejarah sama halnya mengacuhkan bagaimana gambaran-gambaran sejarah itu memberikan kita konstruk cerita, argumen dan membangun letak etik/nilai sebagai bentuk-bentuk penjelasan tentang apa makna dari semuanya. Sejarah bukanlah semata-mata mengenai data, akan tetapi juga berbicara mengenai bahasa yang digunakan sejarawan dalam menarasikan masa lalu, dan itulah sejarah.
Untuk merangkaikan fakta-fakta sebagai suatu narasi sejarah, Hayden White, sebagaimana yang dikutip Munslow, memberikan tiga strategi yang diperlukan oleh sejarawan dalam menarasikan sejarah (Alun Munslow: 2006). Strategi tersebut adalah emplotment (membangun cerita tentang perubahan waktu), argument (memfungsikan hubungan kausalitas antara tindakan dan peristiwa), ideological preference (memberikan posisi etik dan nilai tentang hakikat realitas).
Satu hal yang perlu dipahami pula adalah bahwa dalam proses menceritakan sejarah tidak hanya menekankan pada plot dan hubungan kausalitas dari fakta sejarah yang ada. Melainkan pula berdasarkan pada model, gaya, serta nilai etik yang sejarawan yakini yang bertolak dari orientasi ideologi mereka masing-masing. Sebagaimana pelukis yang memilih genre dan gaya dalam lukisannya. Dengan demikian, menarasikan sejarah tidak hanya mengedepankan kemampuan berfikir logis, melainkan pula memerlukan kecakapan imajinatif dalam mengungkap apa hakekat makna dari fakta sejarah itu sendiri.
Sebagaimana disinggung sebelumnya, pemaknaan terhadap sebuah peristiwa dalam sejarah oleh sejarawan bisa saja berbeda-beda. Dalam kondisi demikian, pembaca dihadapkan dengan pilihan-pilihan pemaknaan. Lantas bagaimana kita menilai pelbagai pemaknaan tersebut? Apakah ada pertimbangan-pertimbangan tertentu yang memengaruhi sejarawan dalam pemaknaannya? Serta, standar apakah yang dapat kita gunakan untuk menilai dan membuat perbandingan di antara pelbagai pemaknaan tersebut?.
Charles Frankel dalam Explanation and Interpretation in History mengemukakan empat faktor yang merupakan pertimbangan sejarawan dalam menentukan pemaknaan sejarah. Empat hal dimaksud adalah: pertama, ketertarikan. Dalam hal ini sejarawan bebas menulis apapun yang menarik minat mereka. Meskipun demikian, ini tak berarti bahwa sejarah sepenuhnya bersifat personal. Sebab bagaimanapun juga penulisan sejarah merupakan domain publik, sehingga sejarawan harus mewakili kepentingan publik juga. Kedua, pemilihan terhadap peristiwa yang mempunyai nilai penjelasan yang signifikan. Dalam hal ini, sejarawan akan memilih sebuah penjelasan atau pemaknaan sejarah yang mempunyai nilai kausal tinggi terhadap peristiwa-peristiwa lain. Ketiga, pemaknaan sejarah biasanya dipilih oleh sejarawan karena dia merupakan variabel kunci dalam pembentukan dan implementasi atas kebijakan sosial yang efektif. Keempat, pemaknaan sejarah seringkali mengungkap hal-hal yang terkait dengan kepentingan dan kebaikan untuk umat manusia, mendedahkan teori kemajuan umat manusia, serta berusaha menemukan keseimbangan di antara pelbagai gerakan dan kepentingan manusia.
Jelasnya, penggambaran sejarah tidak memberikan keseluruhan pemikiran dan praktek sejarah. Sejarah lebih mengedepankan tentang peristiwa dan sumber-sumbernya, serta tentang komposisi dan penyampaian makna. Mengacuhkan kontruksi bahasa sejarah sama halnya mengacuhkan bagaimana gambaran-gambaran sejarah itu memberikan kita konstruk cerita, argumen dan membangun letak etik/nilai sebagai bentuk-bentuk penjelasan tentang apa makna dari semuanya.
Sejarah bukanlah semata-mata mengenai data, akan tetapi juga berbicara mengenai bahasa yang digunakan sejarawan dalam menarasikan masa lalu. Hal-hal seperti inilah yang perlu dipahami ketika akan menulis sejarah tentang Islam. Wallahu a’lam.
Ahmad Tajuddin Arafat, penulis adalah pengajar di UIN Walisongo Semarang.