Bahasa menjadi salah satu unsur budaya yang paling terkena imbas atas ekspansi yang dilakukan oleh pemerintahan Islam saat itu. Inter...
Bahasa menjadi salah satu unsur budaya yang paling terkena imbas atas ekspansi yang dilakukan oleh pemerintahan Islam saat itu. Interaksinya dengan berbagai macam bahasa asing, sedikit banyak telah memberi pengaruh dalam pembentukan model baru dalam berbahasa. Fenomena ini yang dalam fase berikutnya memunculkan bahasa fusha dan ‘ammah (Al-Farmawy, 2004: 287).
Sebagai administrator sekaligus eks katib Ibn ‘Abbas, hal ini cukup menyita perhatian Ziyad bin Abi Sufyan. Ia khawatir perihal kebahasaan ini akan memberi dampak negatif terhadap Al-Qur’an. Jika tidak saat ini, mungkin nanti sepeninggal sahabat atau tabi’in senior. Segera ia menemui Abu al-Aswad al-Dualy, pakar kebahasaan yang juga dikenal sebagai bapak ilmu Nahwu. Ziyad berharap Abu al-Aswad bersedia memberikan sebuah jawaban sekaligus solusi atas permasalahan yang mungkin akan menjadi pelik (Al-Qathan, 2000: 143).
Abu al-Aswad bukan seorang yang kekurangan materi. Kepakarannya tak perlu dipertanyakan lagi, hingga gelar bapak ilmu Nahwu telah disandangnya. Hal ini justru meningkatkan sikap kewaspadaan dan kehati-hatiannya terhadap sesuatu yang dianggap belum pernah dilakukan sebelumnya. Karenanya, ‘proposal’ yang diajukan Ziyad tidak serta merta ia terima. Namun sebagaimana proses kodifikasi (penghimpunan) Al-Qur’an sebelumnya, negosiasi keduanya berjalan alot.
Dirasa menemui kebuntuan, Ziyad melakukan sebuah rekayasa kesalahan pembacaan Al-Qur’an. Ia mengutus seseorang untuk secara sengaja melakukan kesalahan dalam pembacaan Al-Qur’an dihadapan Abu al-Aswad. Singkat cerita, rekayasa itu pun dilakukan. Abu al-Aswad, dengan kepekaan bahasa yang dimiliki, dengan segera membenarkan bacaan yang tak lain adalah bagian dari surat At-Taubah ayat 3. Kata rasuluhu yang mestinya dibaca rafa’ atau dlammah dibaca dengan khafdl atau kasrah (Al-Sholih, 1977: 92).
Kejadian ini sekaligus menggugah hati Abu al-Aswad serta mengingatkannya akan permohonan Ziyad tempo hari lalu. Dengan ditemani seorang pemuda dari kabilah Bashrah, ia pun setuju dan segera memulai.
Hal pertama yang dilakukan Abu al-Aswad adalah membubuhkan tanda bacaan, atau yang sekarang ini kita kenal dengan istilah harakat. Langkah ini tidak lain berangkat dari kesalahan yang ia temui di lapangan. Sebelumnya, ia telah melakukan riset dan menemukan bahwa kemungkinan bacaan yang terjadi dalam Al-Qur’an hanya berkisar pada 3 (tiga) macam bacaan, terbukanya mulut dengan lebar atau infitah, terbuka dengan sedikit atau kasr, dan berkumpulnya dua buah bibir yang dikenal dengan dlamm (Al-Farmawy, 2004: 291).
Fakta ini menentukan langkah yang akan dilakukan. Pada bagian infitah yang condong bergerak ke atas, olehnya ditetapkan tanda titik yang dibubuhkan di bagian atas huruf dengan warna yang berbeda dari warna tulisan huruf. Tanda ini dikenal dengan nama fathah. Untuk kasr, karena bergerak ke bawah, ia tetapkan dengan titik dibagian bawah huruf dan dikenal dengan kasrah. Sedangkan dlamm ia letakkan di tengah huruf, baik di depan atau di belakang huruf. Dan tanda ini disebut dengan dlammah (Al-Suyuthi: 4/162).
Tanda-tanda yang dibubuhkan memang tidak sekomplek yang kita kenal saat ini. Tanda titik yang ada dinilai lebih simple dan mudah untuk diterapkan pada mushaf dengan hanya membedakan warna dari warna tulisan yang telah ada. Penerapannya pun hanya dibagian akhir setiap kata, bukan seluruhnya. Tentunya dengan dibarengi dengan makna filosofis dibalik penetapan setiap tanda baca. Hal ini sebagaimana kebanyakan penemuan lain yang sederhana disaat kemunculan dan mengalami evolusi perbaikan pada fase perkembangan berikutnya.
Pembaca sekalian dapat melihat contoh penerapan tanda titik pada mushaf kuno Topkapi di atas. Tanda harakat ditulis dengan warna merah yang berbeda dari warna tulisan. Fathah dan kasrah dapat dilihat pada penulisan kata bismi dan lafadz al-jalalah. Sedangkan fathah dan dlammah secara berturut-turut ditemukan pada kata ahasiba dan al-naasu, di bagian atas dan tengah masing-masing kata. Nah bagaimana harakat dapat berkembang dan bertranformasi menjadi bentuk yang kita kenal saat ini? insyaAllah akan dijelaskan pada part selanjutnya. Wallahu a’lam bi al-shawab.